(sumber: www.google.co.id)
Alkisah, Sunan Katong
dari Demak melakukan perjalanan ke Tanah Perdikan Prawoto. Beliau diutus
oleh Wali Songo untuk menyadarkan Empu Pakuwaja yang merupakan murid
dari Syeh Siti Jenar. Dalam perjalanannya beliau ditemani oleh tiga
santrinya yaitu Wali Jaka, Ki Tekuk Penjalin, dan Kyai Gembyang.
Sesampainya di tempat tujuan, beliau mendirikan sebuah Padhepokan di
tepian Kali Sarean.
Beliau adalah sosok
ulama yang berilmu tinggi, berbudi luhur dan disegani. Tak perlu waktu
lama bagi beliau untuk mendapatkan banyak santri. Berbondong-bondong
orang datang ke padhepokan untuk belajar ilmu agama.
***
Empu Pakuwaja adalah
seorang bangsawan trah Majapahit. Dia seorang yang gagah berani,
berwatak keras dan teguh pendirian. Dia mempunyai 2 orang putri yang
bernama Surati dan Raminten. Padhepokannya berada di daerah Getas. Dia
juga mempunyai murid kesayangan, yaitu Jaka Tuwuk dan Pilang.
Ketika Sunan Katong
menemuinya dan berusaha mengajaknya kembali ke dalam ajaran Islam yang
sejati, Empu Pakuwaja menolak. Dia justru menantang Sunan Katong untuk
bertanding adu kekuatan. Sunan Katong meladeni tantangan Empu Pakuwaja.
Maka bertandinglah kedua orang tersebut. Mereka mengeluarkan ilmu olah
bathin. Akhirnya Sunan Katong berhasil melukai Empu Pakuwaja.
Dalam keadaan terluka
Empu Pakuwaja berlari dan mencoba bersembunyi dari kejaran Sunan Katong.
Dalam pelariannya Empu Pakuwaja merasa haus yang teramat. Ketika sampai
di depan sebuah rumah, Empu Pakuwaja segera memasukinya. Rumah itu
sepi ditinggal penghuninya ke sawah. Empu Pakuwaja memasuki rumah
tersebut. Di atas meja dia melihat sebuah kendi berisi air nira yang
akan dimasak menjadi gula. Karena rasa haus yang tak tertahan, diapun
segera meminum air tersebut dan menghabiskannya.
Karena kekenyangan minum
air tersebut, akhirnya Empu Pakuwaja tertidur. Tak lama kemudian dia
terbangun karena mendengar suara pertengkaran dua orang yang ternyata
adalah suami istri yang mempunyai rumah itu. Mereka adalah
Pak Singo dan Mbok Singo yang bertengkar karena air nira yang akan
dibuat menjadi gula habis. Mereka tidak tahu bahwa Empu Pakuwajalah yang
telah menghabiskan air tersebut. Karena merasa terganggu dengan
keributan tersebut, tanpa banyak bicara Empu Pakuwaja membunuh kedua
suami istri tersebut. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Singopadu (padu = bertengkar).
Sunan Katong terus
mengejar di belakang Empu Pakuwaja. Ketika dia merasa Sunan Katong
berada tak jauh darinya, maka Empu Pakuwaja bersembunyi di sebuah pohon
Kendal yang berlubang. Ternyata Sunan Katong mengetahui tempat
persembunyian Empu Pakuwaja tersebut. Akhirnya Sunan Katong berhasil
menangkap Empu Pakuwaja.
Empu Pakuwaja kemudian
menyerah dan mengakui kesaktian dan ketinggian ilmu Sunan Katong. Diapun
bersedia menjadi pengikut Sunan Katong, bahkan dia menjadi murid
kesayangan. Tempat menyerahnya Empu Pakuwaja itu di kemudian hari
dinamakan Kendal. Selain nama pohon, Kendal juga berarti penerang, Sunan
Katong berhasil memberikan penerangan kepada Empu Pakuwaja dan
membawanya kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya.
***
Pada suatu hari, Empu
Pakuwaja marah kepada putrinya, Raminten. Raminten mencintai Jaka Tuwuk,
padahal Empu Pakuwaja sudah menjodohkan Jaka Tuwuk pada Surati.
Ternyata Jaka Tuwuk juga mencintai Raminten, mereka saling mencintai.
Empu Pakuwaja yang mengetahui hal tersebut sangat marah.
Lalu dia mencari
Raminten dengan maksud menghajarnya. Raminten yang paham akan watak
keras ayahnya, segera melarikan diri. Dia mencari perlindungan, dan dia
merasa orang yang bisa melindunginya hanyalah Sunan Katong. Karenanya
diapun menghadap Sunan Katong dan meminta bantuan.
Empu Pakuwaja yang gelap
mata dan mengejar Raminten sangat marah mendengar ada orang yang
melindungi putrinya. Diapun menghunus Keris Pusakanya dan segera
menghujamkan ke dada orang yang melindungi putrinya. Ketika keris sudah
menancap, Empu Pakuwaja baru menyadari bahwa orang yang ditusuknya
adalah gurunya sendiri.
Empu Pakuwaja jatuh
tersungkur dan meminta maaf bersujud di hadapan sang guru. Sunan Katong
mencabut keris dari dadanya dan menancapkan keris tersebut kepada Empu
Pakuwaja. Keduanya gugur sampyuh. Dari luka Sunan Katong mengalir darah
berwarna biru, sedangkan dari luka Empu Pakuwaja mengalir darah berwarna
merah.
Kedua aliran darah itu
menyatu di Kali Sarean, membuat warna air sungai berubah menjadi ungu.
Demikianlah, daerah di mana kedua tokoh itu gugur sampyuh dan darahnya
menyatu kemudian dikenal dengan nama “KALIWUNGU” (sungai yang airnya berwarna ungu).
Kota kaliwungu kini
terkenal sebagai kota santri. Para santrinya berasal dari daerah
Kaliwungu dan sekitarnya. Makam Sunan Katong dan Empu Pakuwaja yang
berada di bukit Astana Kuntul Melayang selalu ramai dikunjungi peziarah ketika perayaan Syawalan.
0 komentar:
Posting Komentar